Inara
It’s been a week since the last time I met Ergi.
Emang udah nggak ada yang harus diurus bareng. Dan aku bersyukur karena
sejujurnya ngerepotin banget kerja bareng orang kaya gitu. Jujur aja aku kesel
banget waktu ingat kata-kata Natya waktu itu.
“Ergi mau nemenin lo bagiin surat? Yah itu mah
berarti dia belom percaya sama lo, Nar. He’s a control freak. Iya, Ra. Control
freak, bukan karena dia ada apa-apa sama Inara,” ujar Natya sambil melirik ke
Kiara saat aku mengatakan akan membagikan surat bersama Ergi. Kiara yang sudah
akan membuat isu baru langsung mengatupkan bibirnya.
Dan ternyata memang nyebelin banget! Masa pas
nemenin dia malah diam, padahal aku udah mencoba buka topik baru. Untung dia
mau nraktir aku es krim. Murahan ya? Tapi lumayan sih, habis panas banget,
dibikin kesel pula.
“Nar?” sebuah suara memanggilku. Aku menoleh ke
suara itu, ternyata Dimas, teman sejurusanku. Kami sedang berada di kelas,
menunggu dosen statistika datang.
“Kenapa Dim?”
“Kita sekelompok loh. Kapan mulai ngebahas
tugasnya?” tanya Dimas. Geez kenapa sih belakangan ini aku sering banget
bengong.
“Boleh boleh, nanti sore gimana? Abis kelas
statistika?” ujarku.
“Okay,” ujar Dimas.
Setelah kelas Statistika, aku dan Dimas bertemu di
Taman Air, sebuah taman yang terletak di kampusku, dekat dengan gedung kuliah
kami. Disebut taman air karena terdapat beberapa air mancur kecil disana. Aku
memandangi refleksi diriku di air, rambutku masih rapi, aku hanya memakai kaus
bergambar mickey mouse, celana jeans, serta sneakers converse. Dimas menghampiriku,
Ia memakai kemeja kotak-kotak berwarna abu-abu, celana jeans, dan toms classic.
Preppy.
Kami duduk di salah satu kursi yang disediakan. “Tugas
kita kan ke sebuah usaha terus memantau usaha mereka dari segala sisi, terus
ngasih saran dan kritik buat perbaikan usaha itu. Lo ada saran nggak mau
perusahaan apa?” tanya Dimas membuka percakapan.
“Hmmm gimana kalo usaha makanan aja? Kan di Bandung
ada banyak tuh usaha-usaha makanan,” jawabku sambil mengecek iPhone. Kali aja
ada ajakan makan dari Natya dan Kiara.
Dimas berpikir sejenak. “Bisa sih. Nanti gue coba
cari dulu deh di sekitar kampus. Kali aja ada yang bisa dijadiin tempat
observasi.” Aku mengangguk. “Lo abis ini mau kemana Nar?”
“Nggak kemana-mana. Paling makan bentar terus balik
ke kosan,” jawabku. Nggak ada ajakan makan dari Natya ataupun Kiara, berarti
aku harus makan sore ini.
“Makan bareng yuk. Sekalian nih rumah gue jauh
soalnya,” ujar Dimas sambil mengemas barang-barangnya.
“Boleh boleh. Mau makan dimana? Di gerbang depan aja
yuk,” ajakku.
“Oke.” Lalu kami berdua pergi ke gerbang depan.
Pilihan kami jatuh ke restoran soto di seberang
kampus. Kami berbicara banyak hal, mulai dari kuliah hingga keluarga. Aku baru
tahu kalau Dimas ternyata mantan ketua OSIS di SMA-nya. Aku juga tahu kalau
ternyata Dimas nggak bisa nyetir mobil karena nggak dibolehin sama orang
tuanya.
“Demi apa lo nggak bisa nyetir mobil?” tanyaku kaget
saat Dimas bercerita.
“Iya, padahal gue mau belajar diem-diem tapi tetep
aja nggak jadi terus. Akhirnya sampe sekarang gue nggak bisa nyetir deh,”
jawabnya santai. Aku tertawa.
“Apa perlu gue ajarin bawa mobil?” Sumpah aku cuma
bercanda dan nggak menyangka jawaban selanjutnya adalah…
“Lo serius Nar? Perlu banget!” jawab Dimas dengan
mata berbinar. Padahal aku nanya seperti itu karena basa-basi dan bercanda,
tapi tanggapannya serius.
“Tapi mobilnya gimana? Gue kan nggak ada mobil di
Bandung,” ujarku mencoba berkelit dari tanggung jawab yang tiba-tiba kupikul.
“Kalo mobil mah gampang. Gue bisa pinjem mobil temen
gue.” Sial, ternyata Dimas sudah punya jalan keluar untuk masalah mobilnya.
“Emang nggak apa-apa gitu? Hati-hati loh takutnya
nanti pas lo belajar terus mobilnya lecet, kan nggak enak sama temen lo.” Iya,
aku masih mencoba berkelit.
Dimas tersenyum simpul, “Santai aja. Bisa diatur kok
semuanya.”
Janggal, tapi aku hanya bisa mengangguk perlahan.
“Terus nanti lo balik sama siapa dong?” tanyaku.
“Gue biasa bawa motor kok,” ujar Dimas sambil menyeruput kuah
soto yang masih meruap-ruap.
“Eh nggak usah Diiim. Gue mah gampang emang biasa
balik sendiri.” Duh, kok jadi dobel sih nggak enaknya.
“Gapapa. Anggap aja sebagai rasa terima kasih gue
karena lo udah mau ngajarin gue nyetir,” jawab Dimas.
Aku terenyak. Semoga saja tawaranku yang cuma
bercanda itu tidak berakhir petaka baik buatku maupun buat Dimas.
Selesai makan, Dimas mengantarkanku pulang ke kosan,
naik motor. Dan aku baru sadar, ngobrol sama Dimas bisa semenyenangkan itu. We
laughed a lot. Mulai dari hal-hal nggak penting seperti spanduk yang kami lihat
di pinggir jalan, sampai dosen-dosen kami yang sifatnya seringkali tidak bisa
ditebak.
“Thanks for dropping me by, Dim! I owe you one,”
ujarku sesampainya kami di kosanku.
“My pleasure, Nar. Gue yang harusnya makasih sama
lo.”
“Hati-hati baliknya ya, Dim. Kabarin gue kalo lo
udah sampe rumah.” Rumahnya Dimas jauh banget, di Buah Batu. Sementara kampus
dan kosanku terletak di Bandung Utara.
“Oke,” ujar Dimas sambil memakai kembali helmnya.
Setelah aku masuk ke kosan, barulah Dimas memacu motornya untuk pulang.
Gentleman banget, pikirku. Beda banget sama teman-teman cowokku yang seringkali
meninggalkanku bahkan sebelum aku selesai membuka pagar kosan.
30 menit kemudian, sebuah iMessage masuk. Ternyata
dari Dimas.
Dimas: Nar I’m home. Makasih untuk makan sotonya.
Inara: Wah kok cepet sih? Padahal kan jam pulang
kantor. Sama-sama Dim, selamat beristirahat!
Dimas: Jelas dong, gue kan pembalap. Makasih Nar, lo
juga jangan lupa istirahat.
Aku tersenyum. It feels like I found someone from my
past.
Semenjak membicarakan tugas dan makan malam waktu
itu, aku dan Dimas jadi semakin dekat, terutama karena tugas kuliah kami. Kami
sering kali berdua, menyebabkan teman-teman sekelas kami yang bermulut usil mulai
berbicara.
“Duh Dimas sama Inara sekarang bareng terus yaa, ada
apa nih?” ujar Vanya bercanda. Dosen kami sedang keluar kelas, jadi kondisi
kelas sedikit berisik. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Dimas memandang wajah
cool (atau sok cool) di depan mereka.
“Jangan-jangan Dimas sama Inara mau nyusul Iko sama
Tanya nih,” sahut Gita. Iko dan Tanya adalah satu-satunya pasangan di
jurusanku.
Jurusanku memang sedikit, hanya ada 50 orang dalam
satu angkatan. Makanya cepat sekali bagi kami semua untuk dekat satu sama lain.
Bercanda seperti itu sudah biasa di kelas, hanya saja baru kali ini aku yang
menjadi korbannya. Biasanya sih aku, Natya, dan Kiara ikutan juga ngeledekin.
Ngomong-ngomong soal Natya dan Kiara, tumben banget
mereka nggak ikutan berisik ngeledekin. Bukannya aku pengen, tapi aneh aja. Aku
melirik ke mereka berdua, wajahnya… tidak suka? Aku nggak terlalu paham.
Karena itulah aku bertanya ke mereka saat makan
siang.
“Kalian berdua kenapa sih?” tanyaku to the point.
Natya dan Kiara saling melirik. Aku memandangi
mereka, menunggu jawaban. Akhirnya, Natya membuka mulut. “Honestly, gue sama
Kiara nggak terlalu setuju kalo lo sama Dimas.”
Aku tertawa ngakak. Kontan orang-orang langsung
memandangi kami. Natya dan Kiara mengernyit. “Kenapa sih Nar? Behave dong, lagi
rame nih kantin.” Kantin fakultas kami memang ramai sekali siang ini.
“Masa kalian percaya kalo gue sama Dimas ada
something? I thought you know me.”
“Yes, I know you Nar. Dan lo selalu salting tiap
diledekin sama semua orang, baik yang lo suka beneran maupun yang sebenernya lo
nggak suka sama sekali,” ujar Natya.
Lalu Kiara menyahut. “Dan kami khawatir, dengan
adanya gossip ini dan kesaltingan lo, si Dimas jadi geer.”
“Ngaco ah kalian,” ujarku sambil menusuk siomay yang
ada di depanku. “Harusnya kan kalian bersyukur kalo misalnya gue akhirnya
settled ama seseorang.”
“Tapi nggak Dimas juga ah. Lo tuh walaupun rapuh
gini kelihatannya, sebenernya tangguh Nar. I know you have a black belt in
karate,” ujar Natya.
Rapuh? What? Enak aja. Kalaupun memang rapuh,
harusnya itu nggak kelihatan sama orang lain, walaupun mereka berdua sahabatku.
“Enak aja rapuh!” ujarku sewot. Natya dan Kiara terkekeh.
“Yah terlepas dari seberapa rapuhnya lo, tapi lo
butuh cowok yang lebih kuat dari lo. Kan gak lucu kalo kalian diserang sama
geng motor, malah lo yang ngelindungin cowok lo,” ujar Kiara. Sahabat macam apa
sih yang mendoakan sahabatnya ketemu geng motor.
“Omongan lo nggak masuk akal ah,” ujarku kalem.
Padahal sejujurnya aku pusing banget nanggepin mereka berdua.
Keduanya terdiam, sibuk dengan pikiran mereka.
Hingga akhirnya Natya berkata “Well, sebenernya gue jadi punya ide sih. Berarti
kita cariin cowok buat Inara yang kuat, biar bisa ngelindungin Inara.”
Aku hanya bisa memutar bola mata dengan kesal. Topik
itu lagi. Dan akhirnya setengah jam selanjutnya diisi dengan pengajuan
nama-nama cowok, yang menurut Natya dan Kiara, kuat. Awalnya sih masih masuk
akal, lama-lama makin aneh-aneh.
“Si Jaka aja tuh!” ujar Kiara, setelah entah berapa
nama disebutkan.
“Emang Jaka kuat?” tanya Natya. Aku pun membayangkan
Jaka yang badannya kurus kering, bahkan lebih pendek dariku.
“Kali aja dia sekuat Jaka Tingkir, namanya kan
mirip,” ujar Kiara santai. Gila, kadang aku nggak habis pikir kenapa aku mau
temenan sama manusia garing macam Kiara. Tapi untuk menghormati usaha Kiara,
aku dan Natya tersenyum. “Bego lu Ra,” ujar Natya pelan. Kiara tertawa.
Kami sedang bercanda saat tiba-tiba terdengar, “Woy
bocah!” Aku, Natya, dan Kiara berpandangan, lalu melihat ke asal suara.
Ternyata Ergi, matanya mengarah kepadaku. Aku mengernyit. Natya dan Kiara
melihat ke arahku dan Ergi bergantian dengan tatapan penuh tanya, menuntut
penjelasan dariku.
Ergi mendekat ke arahku. “Sombong banget sih bocah.”
Aku, yang masih clueless, hanya mengernyit ke arah Ergi.
Dan seketika aku teringat. “Enak aja bocah!” jawabku.
Ergi hanya tertawa, lalu berlalu. Giliran Natya dan
Kiara yang menuntut penjelasan. “Is there something you wanna tell us, Nar?”
Akupun menceritakan tentang kejadian beberapa waktu
lalu. Seketika mata mereka berbinar. “We found someone for you!” ujar Kiara
heboh, lalu disambung oleh Natya, “Ahhh I’m so happy for you!” Kini gantian aku
yang menunggu penjelasan mereka.
“He’s your missing puzzle, Nar! Gue tahu dia jago
olahraga, pasti kuat deh. Terus lo nggak lihat tadi matanya mandangin lo
berbinar gitu?” ujar Kiara penuh semangat. Please, bisa nggak sih aku ganti
temen aja? Berbinar? Kayaknya mata mereka yang rusak.
“You guys nuts,” ujarku singkat, disambut tawa
dari keduanya.
No comments:
Post a Comment